Asal Muasal Suku Menurut Tambo
Menurut pendapat yang paling umum dan bersumberkan kepada Tambo, pada awalnya di Minangkabau hanya ada empat suku saja
yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Keempat suku mengelompok menjadi
dua kelarasan yaitu Lareh Koto Piliang yang dipimpin Datuak
Katumanggungan dan Lareh Bodi Caniago yang dipimpin oleh Datuak
Perpatiah Nan Sabatang. Selanjutnya suku-suku asal ini membelah berulang
kali hingga mencapai jumlah ratusan suku yang ada sekarang ini. Dapat
ditebak, suku yang empat ini adalah penghuni kawasan lereng Gunung
Marapi atau Nagari Pariangan. Konsep ini sesuai dengan tujuan penulisan
tambo yaitu untuk menyatukan pandangan orang Minang tentang asal-usulnya.
Namun informasi dari tambo ini tidak menyebutkan:
- Darimana asal usul suku yang empat ini
- Darimana asal usul 4 suku lain yang ada di Nagari Pariangan (Pisang, Malayu, Dalimo Panjang dan Dalimo Singkek)
- Jika Nagari Pariangan adalah nagari pertama, mengapa tidak ada Suku Bodi dan Suku Caniago di dalamnya. Apakah suku yang berdua ini datang belakangan? Tentu ini akan menabrak konsepsi awal bahwa Bodi dan Caniago termasuk empat suku pertama.
- Asal muasal suku besar lain seperti Jambak, Tanjuang, Sikumbang dan Mandahiliang. Karena mereka bukanlah pecahan dari Koto, Piliang, Bodi atau Caniago.
- Suku-suku apa saja yang menjadi warga nagari-nagari yang menganut Lareh Nan Panjang.
Sebuah sumber memiliki pendapat yang berbeda dari keterangan di atas. Menurut Buku Sejarah Kebudayaan Minangkabau, suku asal Minangkabau adalah Suku Malayu, yang terpecah menjadi 4 kelompok dan masing-masingnya mengalami pemekaran, yaitu:
- Malayu IV Paruik (Malayu, Kampai, Bendang, Salayan)
- Malayu V Kampuang (Kutianyia, Pitopang, Jambak, Salo, Banuampu)
- Malayu VI Niniak (Bodi, Caniago, Sumpadang, Mandailiang, Sungai Napa dan Sumagek)
- Malayu IX Induak (Koto, Piliang, Guci, Payobada, Tanjung, Sikumbang, Simabua, Sipisang, Pagacancang)
Suku Malayu juga ditemukan sebagai suku para raja yang berkuasa di Pagaruyung, Ampek Angkek, Alam Surambi Sungai Pagu, Air Bangis dan Inderapura.
Suku Sebagai Representasi Klan Pendatang
Pada hakikatnya suku pada masa awal
terbentuknya adalah representasi dari klan-klan yang membentuk
masyarakat Minangkabau. Sebagaimana yang kita ketahui, Minangkabau pada
masa awal pembentukan masyarakatnya adalah wilayah yang terbuka untuk
didiami pelbagai bangsa sebagai konsekuensi letaknya yang dekat dengan
jalur perdagangan internasional. Pantai Barat Sumatera (Barus), Selat
Malaka dan daerah aliran sungai-sungai besar seperti Rokan, Siak,
Kampar, Inderagiri dan Batanghari adalah pintu masuk utama berbagai
bangsa pendatang sejak zaman megalitikum sampai periode berkembangnya
kerajaan-kerajaan di Pesisir Timur Sumatera. Kaum pendatang ini segera
menghuni kawasan Luhak Nan Tigo yang dalam Tambo disebut sebagai wilayah
inti Minangkabau.
Persebaran Kaum Non-Pariangan di Luhak Nan Tigo
Meskipun tambo-tambo yang beredar dalam
berbagai versi itu sepakat bahwa daerah pertama yang dihuni nenek moyang
orang Minangkabau adalah Nagari Pariangan yang terletak di lereng
sebelah selatan Gunung Marapi,
namun ada informasi yang luput dari “teorema penyatuan silsilah” yaitu
soal penduduk yang telah terlebih dahulu menghuni Luhak Agam dan Luhak
Limopuluah Koto.
Dalam satu episode tambo tentang
pencarian tanah hunian baru, ninik yang bertiga (Datuak Katumanggungan,
Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Sri Maharajo Nan Banegonego)
naik ke puncak Gunung Marapi untuk meninjau lokasi hunian baru yang
terletak di sebelah Utara, Barat dan Timur Gunung Marapi. Menurut
pandangan mereka tempat-tempat tersebut ternyata sudah dihuni orang.
Dalam cerita selanjutnya, ketiga ninik ini menyebutkan:
- Luhak Tanah Datar : buminyo lembang, aianyo tawa, ikannyo banyak (menggambarkan masyarakatnya yang ramai, statusnya tidak merata)
- Luhak Agam : buminyo angek, aianyo karuah, ikannyo lia (menggambarkan masyarakatnya yang berwatak keras, masyarakatnya heterogen, persaingan hidup tajam, orangnya keras hati, suka bermusuh musuhan dan selalu berkelahi pada masing masing kaum)
- Luhak Limopuluah Koto : buminyo sajuak, aianyo janiah, ikannyo jinak (menggambarkan masyarakatnya yang homogen dan penuh kerukunan, memiliki ketenangan dalam berpikir)
Pengamatan ini ternyata sesuai dengan Hikayat Asal Usul Suku Jambak,
yang menceritakan bahwa ketika mereka masuk ke Luhak Agam yaitu ke
daerah Koto Tuo Balai Gurah, mereka menemukan penduduk yang lebih dulu
menghuni daerah ini. Suku Jambak berasal dari kaum pengelana (bisa juga
pengungsi) yang datang dari Negeri Champa.
Champa adalah sebuah negeri yang selalu menjadi target serangan
tetangga tetangganya, sehingga menyebabkan emigrasi besar pada setiap
serangan-serangan ini. Bahkan kata Jambak ini sangat mungkin adalah
perubahan lafal dari Champa. Suku Jambak pada masa itu mengagungkan
simbol Harimau Campa dan bendera merah yang kemudian menjadi simbol
Luhak Agam karena dominannya pengaruh mereka.
Penduduk Koto Tuo Balai Gurah yang diusir
oleh Suku Jambak ini kemudian menyebar ke daerah Kayu Tanam dan
Pariaman, yang kemudian menjadi nenek moyang Suku Sikumbang. Menurut
hikayat ini, Suku Sikumbang juga merupakan pendatang dari Asia Tengah
dan Tiongkok yang pada saat kedatangannya terdiri dari dua gelombang.
Yang satu berdiam di Luhak Tanah Datar dan sisanya menempati Luhak Agam.
Sama seperti Suku Jambak, Suku Sikumbang juga memiliki simbol, yaitu
Harimau Kumbang.
Pada beberapa tambo cerita ini dikaburkan
dengan menafsirkan kondisi bumi yang diceritakan diatas (sejuk, panas,
lembang) sebagai kondisi sebenarnya, bukan kiasan. Ada juga cerita soal
tiga buah jurai (akar pohon) yang menunjuk ke tiga luhak diatas dan
cerita soal tiga sumur di puncak Gunung Marapi yang menjadi tempat minum
tiga kelompok nenek moyang yang akan membuka daerah Luhak Nan Tigo.
Penduduk Pariangan yang Bermigrasi ke Luhak Agam
Karena mayoritas Tambo menyatukan
pandangan soal asal-usul dari Nagari Pariangan, maka yang dicatat secara
resmi adalah perpindahan kaum yang berasal dari Pariangan yaitu
rombongan pertama yang mendirikan Nagari Ampek Angkek. Selanjutnya
adalah rombongan-rombongan yang mendirikan nagari-nagari Kurai,
Banuhampu, Sianok, dan Koto Gadang. Jadi seolah-olah merekalah yang
mula-mula membuka nagari tersebut.
Penduduk Pariangan sendiri secara
tradisional adalah cikal bakal penduduk Luhak Nan Tuo (Tanah Datar),
namun di tempat lain mereka belum tentu yang pertama. Inilah yang secara
tidak sengaja tersirat dari episode pencarian tanah baru dalam tambo.
Bukti lainnya adalah, Nagari Ampek Angkek ini menganut laras Koto
Piliang, sistem yang didukung oleh mayoritas masyarakat Luhak Tanah
Datar.
Yang Tersirat dari Kebesaran Luhak Nan Tigo
Luhak Nan Tigo sebagai wilayah inti
Minangkabau, memiliki identitas sendiri-sendiri yang menunjukkan asal
usulnya. Secara simbolik dilambangkan dengan warna merah, kuning dan
hitam. Selain itu oleh simbol hewan kucing, harimau dan kambing yang
konon menyimbolkan watak mereka.
Namun ada satu perihal yang lebih menegaskan lagi identitas ini yaitu kebesaran.
- Kebesaran Luhak Tanah Data adalah Sistem Aristokrasi Koto Piliang (Rajo Tigo Selo, Basa Ampek Balai, Langgam Nan Tujuah). Seluruh perangkat pemerintahan Koto Piliang berada di Luhak Tanah Data.
- Kebesaran Luhak Agam adalah Sistem Pertahanan atau Parik Paga. Disini kependekaran dan kepanglimaan lebih dihargai. Terlihat dari militansi mereka dalam lintasan sejarah. Sejak dari Harimau Campa, Tuanku Nan Renceh sampai perjuangan mereka dalam peristiwa PRRI.
- Kebesaran Luhak Limopuluah Koto adalah Sistem Demokrasi atau Musyawarah Para Penghulu. Penghulu yang duduk sehamparan, tagak sepamatang, sederajat dalam posisi.
Hal-hal diatas tampak menyiratkan asal-usul yang berbeda dari ketiganya. Kita bisa berasumsi bahwa:
- Penduduk Luhak Tanah Data pada awalnya di dominasi oleh pendatang asal India Selatan yang beragama Hindu dan berkasta-kasta (buminya lembang).
- Penduduk Luhak Agam seperti diterangkan di atas berasal dari tempat yang beragam (sangat heterogen) sehingga persaingan dan pertahanan adalah sesuatu yang utama dalam kehidupan mereka
- Penduduk Luhak Limopuluah Koto berasal dari India Selatan juga (dan mungkin ada tambahan dari tempat lain), namun menganut agama Buddha Mahayana.
Di kemudian hari terlihat bahwa mayoritas
nagari-nagari di Luhak Agam dan Luhak Limopuluah ini adalah pendukung
Kelarasan Bodi Caniago, sedangkan Luhak Tanah Data adalah pendukung
Lareh Koto Piliang (kecuali Solok dan Limokaum Duobaleh Koto). Pada masa
Perang Paderi, Agam dan Limopuluah Koto dengan segera bergabung dengan
Gerakan Paderi yang berpusat di Bonjol, sedangkan Tanah Data tampak
menunjukkan resistensinya.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar